INTELEKTUAL ACEH PERTANYAKAN DATA BRR

Sabtu, 14/2/09 19:40 WIB

Jakarta,(Modus.or.id). Ketua Ikatan Mahasiswa Pasca Sarjan (IMPAS) Aceh-Jakarta Kamaruddin Hasan dan Indra Gunawan Pengurus Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta mempertanyakan kegiatan yang diadakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias di Jakarta sejak 13-14 Februari. Pasalnya laporan BRR Aceh Nias menyatakan 93 persen keberhasilannya merekonstruksi dan merehabilitasi Aceh-Nias. "Bagaimana keakuratan data ini dengan kenyataan di lapangan. Anda menipu nilai-nilai kemanusiaan Anda dengan merayakan kemanusiaan," ungkap Kamaruddin Hasan yang didampingin oleh Indra kepada jurnalis, Sabtu (14/2).

Kamaruddin menyatakan acara A celebration of humaty yang dilaksanakan di JCC Jakarta, juga tidak jelas exsitstrateginya tidak sesuai dengan tujuan membangun aceh pasca tsunami oleh BRR. Acara ini hanya menjauhkan realitas yang sebenarnya di Aceh. "Mestinya korban atau rakyat Aceh yang harus terlibat secara langsung dan dibuat di Aceh. Acara ini hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas saja dengan biaya milyaran rupiah. Acara ini hanya untuk cari muka," tambah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia..

Hal senada juga disampaikan oleh Indra yang menuturkan, dengan masa kerja hanya 60 hari lagi semestinya apapun kegiatan harus di Aceh/Nias. Acara dibuat di Jakarta, kalangan organisasi kepemudaan Aceh di Jakarta tidak diundang, jadi akan sulit ketika acara ini dikatakan merepresentasikan Aceh. "Ini sangat politis, kasian orang korban tsunami Aceh secara terus menerus jadi mangsa kapitalis. Acara serimonial seperti ini kalaupun mau dibuat harus di Aceh atau Nias, '' ingat Indra.

PEMDA atau rakyat mestinya harus lebih peka jangan terjebak pola politisi dan ekonomi pusat atau Jakarta. Kita terus dibodohi, pola-pola individualisme, materialisme, kapitalisme seperti ini sudah merusak tatanan moral dan budaya Aceh. Kalau tujuan hanya ingin memperkenalkan kembali kepada NGO/lembaga donor yang terlibat di Aceh kurang lebih 500 buah dengan keterlibatn 50 negara kami kira sudah tidak perlu lagi. "Aceh sudah cukup terkenal apalagi setelah konflik dan tsunami. Kalau memang acara seperti ini dipaksa dibuat ya mesti di Aceh agar bisa langsung dilihat keberhasilan dan kelemahan bukan menjauh dari realitas yang sebenarnya," tukas Kamaruddin dan Indra kompak.(Hariwibowo).

Copyright © 2004 modus.or.id | email: modus18704@yahoo.com

Komite Bersama Masyarakat Lhoknga-Leupung (Aceh Besar) bersama Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta dan IMPAS Jakarta melaporkan berbagai perusakan dan pelanggaran yang dilakukan PT SAI-Lafarge ke Komisi VII DPR RI. Juru bicara, Indra Gunawan menegaskan beberapa poin penting yang menjadi keluhan dan tuntutan msyarakat. Diantaranya mengenai operasi PT SAI yang merusak lingkungan sekitar, tuntutan masyarakat untuk ditinjau kembali AMDAL yang menjadi landasan operasi pabrik, serta penekanan terhadap pemerintah daerah maupun pusat yang mengeluarkan kebijakan atau izin operasi pabrik semen ini.

Hari-yang juga-anggota Komite Bersama Masyarakat Lhoknga-Leupung (Aceh Besar) juga manyampaikan hal serupa. Disamping itu Hari juga menekankan bahwa Kecamatan Lhoknga dan Leupung merupakan kawasan Karst kelas satu yang menurut undang-undang tidak boleh ditambang. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh LSM Kasrt Aceh.

Disisi lain Kamaruddin Hasan dari IMPAS Jakarta juga memberikan informasi-informasi mengenai kawasan atau daerah Aceh lainnya yang akan bernasib sama dengan Aceh Besar, diantaranya pertambangan batu bara di Meulaboh dan lain-lain. Untuk itu Kamarudin berharap supaya ada tindakan riil dari komisi VII DPR RI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan tinggi agar malakukan langkah-langkah pencegahan dan penindakan terhadap hal-hal yang telah disampaikan.

Dalam audiensi yang berlangsung sekitar satu jam ini, tim juga membawa tiga jilid berkas yang berisikan hasil penelitian ilmiah tentang kawasan karst, poin-poin penting palanggran yang dilakukan pabrik serta perbandingan AMDAL yang disahkan dengan kanyataan di lapangan.

Erlangga, ketua komisi VII yang menerimalangsung tim utusan dari masyarakat Aceh ini menyambut baik niat dan tindakan yang menurutnya sangat tanggap dan aspiratif ini. apalagi laporan yang disampaikan juga didukung dengan data yang kuat serta informasi yang lengkap. Bahkan Erlangga berjanji akan melakukan kunjungan langsung ke Kecamatan Lhoknga dan Leupung untuk melihat dengan mata kepala sendiri. Jika kenyataannya sesuai dengan apa yang dilaporkan masyarakat, maka akan ada tintakan tegas.

Audiensi ini ada setelah aksi demonstrasi yang digelar oleh Komite Masyarakat Lhoknga dan Leupung yang difasilitasi oleh IMAPA Jakarta pada tanggal 2 Februari 2009 di depan KEDUBES Perancis di Jl. M.H. Thamrin Jakarta. aksi yang berlangsung sekitar 2 jam ini didukung oleh berbagai lembaga, antara lain IMPAS Jakarta, Tikar Pandan Aceh, Karst Aceh dan lain-lain.

Setelah 2 jam berteriak-teriak dalam hujan lebat, akhirnya KEDUBES Perancis bersedia menerima perwakilan masyarakat untuk berdialog. tiga orang yang mewakili peserta aksi adalah Indra (IMAPA Jakarta), Yulfan (Komite Masyarakat) dan Dewi.

Dialog dalam bahasa Perancis yang berlangsung sekitar satu setengah jam tersebut, para utusan ini menyampaikan berbagai informasi tentang perusakan-perusakan yang dilakukan oleh PT SAI dan efeknya terhadap masyarakat. Disampaikan juga berbagai poin yang menjadi tuntutan masyarakat, antara lain:

1. Masyarakat menuntut supaya adanya peninjauan kembali terhadap AMDAL pembangunan PT SAI

2. Mendesak pemerintah Perancis untuk ikut bertanggungjawab terhadap kerukan lingkungan yang dilakukan oleh Lafarge (perusahaan asal Perancis pemilik 99% saham PT SAI)

Sayangnya, respon yang diberikan KEDUBES Perancis yang diwakili oleh Wakil DUBES Jean-Yves ROUX kurang memuaskan. Pasalnya ROUX manyatakan bahwa pemerintah Perancis tidak memiliki kewenangan apa-apa terhadap Lafarge. ROUX berkilah bahwa Lafarge adalah perusahaan swasta yang punya aturan main sendir. Jika ada kegiatan Lafarge yang merugikan masyarakat, maka yang harus bertanggungjawab adalah pihak yang memberi izin operasinya. Dengan kata lain pemerintah Perancis tidak mau bertanggungjawab dan melemparkan tanggungjawab kepada Pemerintah Provinsi NAD dan Pemerintah pusat.

Akan tetapi disisi lain, kendati pemerintah Perancis mengaku tidak memiliki otoritas, mereka berjanji akan melakukan sidak langsung ke Aceh (Kecamatan Lhoknga dan Leupung, Aceh Besar). Jika benar kenyataanya demikian, maka pemerintah Perancis siap membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini. Bahkan ROUX mengusulkan supaya masyarakat menempuh jalur hokum sebagai langkah panyelesaiaannya. KEDUBES Perancis juga menyatakan akan menyampaikan hasil pertemuan ini kepada Gubernur Aceh drh. Irwandi Yusuf dan Pimpinan Lafarge. ROUX juga mengaku sangat kaget dengan informasi yang disampaikan oleh para utusan ini, karena dia mengaku selama ini KEDUBES Perancis hanya mendengar kabar-kabar positif saja dari Irwandi Yusuf dan Wapres Jusuf Kalla(?????).

Setelah dialog selesai, masa aksi yang dikawal oleh dua kompi dari Polda Metro akhirnya membubarkan diri dengan tertib.

Mudah-mudahan Allah mengizinkan rakyat menang melawan kapitalis dan penguasa-pengusai busuk…amin

Semangat Perubahan

Dalam perjalanannya generasi muda sering didefinisikan sebagai agent of change, suatu kelompok manusia yang dinamis kreatif. Makna-makna seperti ini sering dikutip oleh para pemimpin dunia dalam mendefinisikan siapa generasi muda dan peran apa yang mereka mainkan.

Bagaimana dengan IMAPA? Bagi IMAPA sebagai kaum primordial muda ke-Acehan harus segera mampu mendefinisikan diri kembali guna menjawab segala bentuk tantangan dalam mempertahankan konsistensi perjuangan, membekali diri sebanyak mungkin. Kita dituntut untuk mampu memilih peran seraya meninggalkan budaya-budaya yang tidak kondusif dan tidak produktif untuk kemudian membangun Aceh dengan paradigma baru. Banyak fenomena-fenomena mengenaskan terjadi di bumi Aceh saat ini, banyak orang yang bisa melihat tapi tak melihat, bisa melihat tapi melupakan dan bisa melihat tapi tak peduli. IMAPA Jakarta harus bisa melihat dan bisa berbuat.

Sejak berdirinya IMAPA Jakarta tahun 1962 lalu, tepatnya pada tanggal 2 Februari di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia oleh para inisiator seperti Syahnuran Umar (alm), Sufi Yakob, Asnawi Hasyim (ketua pertama) dan Ramli Ghanie (sekum), IMAPA Jakarta memiliki Visi “Terwujudnya Kemajuan Aceh yang Dipimpin oleh Generasi Baru yang Islami, Intelektual dan Mengabdi pada Masyarakat”, sungguh suatu visi mulia yang luas dan berpandangan jauh kedepan.

45 tahun sudah kini usia IMAPA Jakarta bertahan dan berkarya. Namun, harus diakui bahwa aksi dan karyanya belum sebanding dengan usianya. Bahkan IMAPA yang sedari dulu selalu dituntut untuk bisa kreatif dalam berfikir dan produktif dalam berbuat, kini pelan-pelan berkurang. Tapi, keluar dari keterpurukan itu, satu hal yang harus dipahami bahwa cita-cita adalah tetap cita-cita. IMAPA sebagaimana disebutkan diatas memiliki visi yang luas sekali, untuk mewujudkan visi yang menjadi cita-cita bersama pemuda dan mahasiswa Aceh Jakarta tersebut bukanlah hal mudah, namun langkah anak muda tetap tak terbatas, kerja-kerja organisasilah yang akan menjadi solusi pencapaiannya.


Berangkat dari semangat kebersamaan yang kental dan kekeluargaan yang harmonis, kini generasi-generasi muda Aceh kembali berkumpul untuk melakukan instrospeksi terhadap perjuangan yang dicanangkan selama ini dan kemudian merumuskan kembali formula-formula dan ritme-ritme pergerakan kedepan yang tentunya dengan semangat baru dan diisi oleh generasi-generasi pengurus yang baru pula

KKR untuk keadilan Aceh

Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai dua kearifan sifat, yaitu manusia sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk pribadi mampunyai hak dan kewajiban secara pribadi pula, tentunya sesuai dengan aturan-aturan formal (konstitutif) dan aturan-aturan non formal (normatif). Artinya bahwa manusia secara pribadi mempunyai hak untuk mengatur dan menentukan arah hidupnya sendiri.

Berbeda dengan manusia sebagai makhluk sosial, dalam hal ini manusia dituntut untuk saling berinteraksi satu sama lain, saling mengenal, saling membantu, saling membela hingga saling memberi dan menerima. Namun kadang-kadang tak banyak dari kita yang menyadari hal itu, maka wajar bila seringkali terjadi ketimpangan-ketimpangan dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Indonesia “cukup baik” untuk kita jadikan contoh, kemiskinan dimana-mana sebagai gambaran ketimpangan ekonomi atau kesejahteraan. Sementara rakyat makan nasi basi, pejabat malah secara kolektif melaukan korupsi.

Salah satu hal yang sering muncul ke permukaan adalah ketimpangan dari segi hukum yang masih diskriminatif. Masyarakat kecil selalu terhambat untuk memperoleh haknya untuk bisa berpendidikan, berkehidupan yang layak, keamanan dan kenyamanan sebagaimana yang termaktub dalam UUD`45 yang menyatakan bahwa negara menjamin hajat hidup warga negaranya. Sudahkah itu terjadi? Atau hanya subatas retorika politik?

Miris rasanya bila kita mau buka mata dan melihat kanyataan hidup yang ada. Bahkan, selain terhambat untuk memperoleh kebutuhan hidupnya, yang lebih menyedihkan lagi terkadang pemerintah menjadikan masyarakatnya sebagai aset negara yang berharga. TKI (Tenaga Kerja Indonesia) misalnya yang hanya menjadi PRT (Pembantu Rumah Tangga) di negeri orang malah dianggap sebagai “pahlawan devisa” yang menguntungkan negara. Masyarakat banyak yang selalu hidup dalam kondisi primitif seperti di papua misalnya, juga dianggap sebagai kakayaan budaya.

Yang menyedihkan lagi bila sejenak kita menengok ke belakang bagaimana pelanggaran-pelanggaran HAM terjadi di bumi pertiwi. Kasus Aceh, Papua hingga kasus Ambon. Di Aceh, tembakan senapan, letusan granat dan ledakan bom menjadi hal yang tak dapat terpisahkan setiap harinya dari telinga masyarakat selama puluhan tahun. Mulai dari Aceh sebagai DOM (Daerah Operasi Militer), tragedi simpang KKA pada zaman rezim oerde baru, hingga operasi wibawa pada rezim B.J. Habibie. Haruskah semua kasus-kasus yang merenggut ribuan nyawa masyarakat itu dibiarkan seperti angin lalu? Dimana keadilan yang katanya dijamin oleh negara?

Lahirnya MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu bukanlah akhir dari segalanya. Perdamaian tetap perdamaian, tapi hukum tetap harus ditegakkan demi terciptanya keadilan yang hakiki bagi masyarakat. Ap lagi dalam salah satu klausul MoU jelas disebutkan tentang upaya penegakan HAM di Aceh, mulai dari pendirian Pengadilan HAM hingga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

RUUPA telah disajikan menjadi UUPA, itu artinya Aceh kini telah mengantongi hak yang istimewa dalam mengatur daerahnya sendiri. Berbagai Qanun (Perda) dibahas dan disahkan. Penggodokan juga dilakukan pada Qanun tentang KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. Akankah Qanun KKR ini mampu menjangkau semua lini pelanggaran HAM di Aceh? Sedangkan kekauatannya hanya setingkat Perda? Ini juga akan menjadi persoalan besar bagi terciptanya perdamaian yang hakiki di Aceh, karena kasus-kasus HAM ini bisa saja menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak bila tak diselesaikan secepatnya.

Mudi Aceh dan JiPo (Jilbab Poni)

semenjak perdamaian lahir di Aceh, banyak hal yang dulu terbatas kini menjadi luas dan leluarsa. sebut saja sebagai contoh kecilnya kebebasan masyarakat di luar rumah yang tak lagi dibatasi jam malam seperti zaman konflik silam. kendati demikian adat Aceh yang dikenal kental dengan keislamannya tetap saja secara tersirat membatasi hal itu. tapi minimal muda-mudi Aceh kini kembali bisa menikmati jalan-jalan sore (JJS) atau berkonvoi ria dengan sepeda motor yang jumlahnya meningkat drastis setelah tsunami.

seperti cerita si Farid dan si Ani. mereka punya hubungan khusus sejak sebelum konflik dan harus renggang karena keterbatasan masa konflik. tapi bagusnya hubungan mereka tetap awet sampai pasca perdamaian. alhasil, sekarang mereka begitu menikmati romansa yang sempat tertunda dulu. bedanya kini si Ani harus berjilbab, terutama jika ingin bepergian keluar rumah. hal itu awalnya tak suka di hati Farid, tapi akhirnya Farid mencoba untuk malunak. melunaknya Farid bukan tanpa alasan, ternyata Ani punya cara lain agar rambut indah dengan poni lipatnya itu tetap menjadi idola sang pacar. Ani tetap mengenakan jilbab, tapi bagian depannya (kening) tidak ditutupi sepenuhnya. dengan demikian, ada ruas untuk poninya itu menampakkan diri. Farid pun suka, karena yang penting poninya.


nah, jilbab model ini kini sangat populer di Aceh, mengalahkan gaya-gaya jilbab rancangan busana muslim yang ada. jilbab rapa dengan modif poni lipat. seolah-olah poni itu mewakili keseluruhan "body" mudi Aceh saat ini. kini setiap sore Ani selalu siap dijemput Farid untuk sekedar mejeng atau nongkrong sambil menikmati suasanalaut di pinggiran pelabuhan ulee lheue, Banda Aceh. namun mereka tetap hati-hati.... loh, kenapa? bukan karena jilbab, jilbab model ini sah-sah saja kok di Aceh. tapi mereka ahti-hatinya andai-andai ada WH (polisi syari`ah) yang kebetulan lewat atau ada semacam sidak.

artinya, JiPo tak pernah salah di Aceh. bahkan para petugas penegak syaria`ah di Aceh pun hampir tak menyinggung msalah ini. padahal, sedikit saja rambut waniti tak boleh terbuka, karena sama saja dengan menampakkan seluruhnya. dari segi dosa pun sama. dalam al-Quran surat an-Nur ayat 30 jelas sekali Allah mengatur cara wanit mengenakan jilbab yang bena adalah dengan menutup kepala hingga menutupi dada pula.

nah.... sekarang kita sudah sama-sama tau ni, ayo kita sama-sama manuju perubahan. tidak perlu yang muluk-muluk dulu deh, kita mulai dari hal kecil seperti JiPo saja dulu...
selamat berubah dan mengubah.

Layaknya sebuah organisasi primordial, IMAPA Jakarta pada dasarnya memiliki ruang gerak yang sangat terbatas. Beda halnya dengan organisasi-organisasi seperti HMI, KNPI, atau organisasi-oragnisasi sosial kemasyarakatan lainnya. IMAPA hanya bergerak dalam tatanan ke-Aceh-an dan dalam kesempatan-kesempatan tertentu ikut puladalam permasalahan nasional.

Hampir setengah abad sudah IMAPA Jakarta tumbuh dan berkembang. Sejak berdirinya pada 1962 silam, IMAPA Jakarta awalnya hanyalah sebuah organisasi paguyuban yang eksklusif. Namun, pada perkembangannya tahun 2000 pada MUBES ke-XVII IMAPA Jakarta akhirnya berubah status menjadi organisasi kader murni dengan konten bidang-bidang di dalamnya yang beda pula.

Sistem kaderisasi yang sudah mulai diterapkan sejak saat itu telah melahirkan ratusan kader potensial ‘siap terjun’. Terhitung tak kurang 100-150 kader lahir di setiap periodenya. Dari kader-kader unggul inilah kemudian IMAPA makin lama semakin berkembang dan ‘menggairahkan’ bagi anak muda Aceh khususnya.

Berkenaan dengan potensi tersebut dapat kita buktikan bersama. Kader-kader IMAPA Jakarta terdahulu kini semakin akrab disapa di kancah nasional maupun lokal. Banyak orang yang tidak tau mungkin bahwa sosok seperti Prof. Dr. Sofyan Djalil yang sempat menjabat Menteri Komunikasi dan Informasi dan kini menjabat sebagai Menteri Negara BUMN adalah salah satu kader IMAPA Jakarta. Banyak pula kader-kader IMAPA Jakarta lainnya yang kini leading di berbagai partai-partai besar, sebut saja Taufikul Hadi di PP PPP dan beberapa ‘kader tua’ lainnya yang bahkan menjadi penasehat di berbagai elemen pemerintahan.

Di dunia usaha para kader-kader IMAPA Jakarta tentu tak diragukan lagi, eksisnya beberapa dari mereka di perusahaan-perusaan Nasional maupun swasta pada posisi-posisi strategis seperti Presiden Darektur, Direktur Utama dan lainnya merupakan bukti potensi yang nyata. Tentunya keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh tidak jauh-jauh dari akarnya dulu yaitu IMAPA Jakarta.

Dengan adanya pembuktian sejarah tersebut ternya memicu kencang para kader-kader ‘muda’ IMAPA Jakarta, baik yang masih aktif di kepengurusan maupun yang baru ‘pensiun’. Untuk membuktikan potensi yang dimilikinya, tak jarang dari mereka yang melanjutkan studinya keluar negeri. Sebut saja Fajran Zain misalnya, setelah selesai pengabdiannya sebagai Ketua Umum IMAPA Jakarta kembali turun untuk berstudi S2 di Indiana, Amerika. Belum lagi yang lainnya yang hingga kini masih bertebaran di seluruh pelosok dunia.

Fenomena ini bukan omong kosong atau action tanpa target. Disadari maupun tidak disadari, semua itu adalah dalam rangka mewujudkan mimpi bersama para kader-kader IMAPA Jakarta untuk KUASAI REPUBLIK. Dalam rangka menjawan dan menyatakan mimpi ini pula, para ‘pejuang-pejuang’ IMAPA Jakarta yang masih terlibat dalam kepengurusan mencoba dan terus mencoba berusaha memberikan yang baik dan terbaik bagi organisasinya. Pengabdian total dan ikhlas menjadi kunci utama untuk tetap berada pada garis perjuangan yang sebenarnya.

Yakinkah kita bahwa esok Tanah Rencong tertulis atas nama kita.

Yakinkah kita bahwa esok Republik berdiri atas kuasa kita.

IMAPA & Biro Jodoh; Sisi lain yang indah

Sudah sejak dua tahun lalu Poya dan Rapeni sama-samaaktif di IMAPA. Sejak itu pula keduanya sering kali terlibat dalam satu momen secara bersamaan. Awal mereka masuk IMAPA sebenarnya biasa-biasa saja, di kepengurusan pun posisi mereka tidak begitu strategis. Baru setelah di periode kepengurusan kedua mereka masuk dalam jajaran pengurus inti IMAPA. Poya menjadi ketua bidang sedangkan Rapeni dipercayakan jabatan bendahara.

Kaduanya kemudian sering telibat interaksi khusus,membicarakan organisasi tentunya. Namun, karena sanking seringnya akhirnya merekapun sempat beberapa kali saling curhat tentang kuliah hingga tentang ‘asmara’. Tak diragukan lagi, temen-teman pengurus lainnya menyadari bahwa mereka ‘terperangkap’ dalam hubungan istimewa, tapi itu bukan masalah. Mereka semakin semangat dengan program-program IMAPA, bisa dibilang tak pernah sekalipun absen dalam setiap acara IMAPA.

Setelah selesai pendidikan S1 pun hubungan mereka terus berlanjut bahkan lebih swerius lagi, hingga akhirnya beberapa tahun setelah alumnus dari IMAPA terdengar kabar dari Aceh bahwa mereka telah berlanjut ke palaminan.

Itulah salah satu pemandangan menarik tentang sisi lain dari IMAPA tercinta ini. Fenomena ini menggambarkan betapa sebenarnya hubungan emosional bisa dibangun dengan sungguh-sungguh. Banyak yang membuktikan ternya dari hubungan emosional ini pula tak jarang organisasi-organisasi besar semakain solid dalam pertumbuhannya.

Selain sekumpulan Pemuda dan Mahasiswa Aceh-Jakarta, IMAPA sebenarnya menyimpan banyak manfaat positif. Senasib seperjuangan terkadang menjadi nyata di IMAPA, meski terkadang dihiasa dengan perdekdokan ringan yang semakin memperindah. Semangat pelajar perantauan kemudian menjadi salah satu pengikat yang cukup efektif, seakan menemukan dan berkumpul dengan keluarga baru.

Dari beberapa sumber dan bukti nyata sebenarnya bisa kita ketahui bahwa tak jarang para orangtua-orangtua yang di Aceh sana menginginkan anak-anak mereka tetap berjodoh dengan pemuda atau gadis Aceh juga. Tidak bisa dipungkiri pula pada dasarnya anak-anak Aceh sangat penurut dan patuh pada keinginan orangtuanya. Pemuda yang dewasa, berprestasi, punya kesibukan yang positif dan rajin ibadah adalah kriteria idaman bagi para gadis Aceh, begitu pula sebaliknya bagi gadis-gadis Aceh.

Maka tak diragukan lagi, bagi mereka yang mengharapkan sesuatu yang mendekati kesempurnaan, IMAPA merupakan pilihan pertama dan utama. Selain bisa berorganisasi demi sumbangsih yang ikhlas dan total untuk Aceh, IMAPA juga dapat menjadi alternatif pilihan bagi mereka yang mencari sosok pemuda atau gadis idaman sesuai dengan keinginannya bahkan menunaikan harapan orangtuanya. Bukankah membahagiakan orangtua itu adalah ibadah?!

“… and to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction …”

Isaac newton, 1643-1727

Mahasiswa tersebutlah sebagai komponen pelaku ‘social enginering’ ditengah masyarakat. Kehadirannya dengan berbagai macam konsep dan strategi alternative kerap diidamkan sebagai langkah strategis menuju pembaharuan. Kalimat diatas tidak terlalu berlebihan, jika kita mencoba menilik kembali perjalanan sejarah bangsa ini. Mulai dari komponen angkatan ’66, MALARI hingga tergulingnya Orde Baru. Sebagai bassis massa intelektual, mahasiswa juga kerap kali melakukan pressure ekstraparlemen terhadap berbagai kebijakan yang anti dan tidak berpihak terhadap rakyat banyak.

Sebagai sosok yang dipandang masih idealis, mahasiwa dianggap “bermain” ditataran objektif dengan rakyat sebagai kepentingan yang dibela. Kepercayaan rakyat terhadap mahasiswa juga masih terpupuk hingga hari ini. Kepercayaan yang diberikan itu tentu bukan tanpa alasan, berbagai “demo” yang bebas tunggangan, pengorganisiran rakyat untuk membela haknya tentu menjadi salah satu bukti penguat akan stigma positif terhadap mahasiswa ini, selain berbagai bentuk aksi lainnya. Dengan masih dipercayanya mahasiswa sebagai tempat berkeluh kesah, tentu banyak juga dimamfaatkan oleh berbagai kepentingan. Mendorong lahirnya kesatuan-kesatuan mahasiswa yang kemudian menjadi underbouw dan kendaraan politik pagi partai politik juga merupakan langkah yang harus diantisipasi, mengingat hal tersebut akan menjadi boomerang bagi pergerakan mahasiswa dan justru akan menjauhkan seluruh mahasiswa dengan seluruh ‘konstituennya’. Melibatkan mahasiswa diranah politik praktis adalah langkah untuk menumpulkan gerakan mahasiswa.

Dalam upaya mewujudkan pressure-pressurenya tentu komponen mahasiswa harus saling berkomunikasi dalam satu komuni. Hal ini dirasa urgent untuk menyatukan derap langkah dan common issue yang ingin diperjuangkan. Perlu adanya share informasi, experience dan concept guna memperkaya berbagai bentuk tindakan konkrit yang akan dilakukan untuk membela rakyat. Impact lainnya juga tentu menghindari pengkotak-kotakan gerakan-gerakan mahasiswa oleh pihak yang ingin mengaburkan esensi dari gerakan itu sendiri, baik itu alasan iodeologis maupun berbagai macam alasan lainnya. Jika menilik pada kondisi seperti sekarang ini, kehadiran diskusi dan workshop yang menjadi ruang dan mediator proses komunikadi bagi segenap mahasiswa juga terasa begitu bermamfaat, mengingat kondisi Aceh yang sedang meniti masa transisi. Pada saat ini, dirasakan begitu penting wadah yang mengawal jalannya proses perdamaian, terutama kalangan mahasiswa yang dianggap masih objektif penilaiannya. Bukan hanya itu saja, masih banyak issue-issue factual lainnya yang dirasa perlu disikapi oleh para pelaku perubahan ini.

Semangat pembaharuan haruslah menjadi semangat bersama. Untuk membenamkan semangat pembaharuan terutama dikalangan muda, mahasiswa menjadi pilihan strategis untuk mengkampanyekan ini. Mengingat posisinya yang bisa menjangkau seluruh lini secara komprehensif. Selain itu mahasiswa juga bisa menyalurkan energi-energi piositif tersebut melalui interaksi keseharian lewat dakwah-dakwah intelektualistasnya dikampus. Aceh Hari ini begitu membutuhkan sumbangan ide, pemiiran dan konsep yang membangun. Tawaran konsep tentunya lahir lewat serangkaian proses exchanging knowledge. Konsep yang dilahirkan secara bersama tentu akan lebih baik dan merangkum segala aspek dengan berbagai pertimbangan didalamnya ketimbang konsep yang dilahirkan sendiri dengan dasar pengetahuan sedikit orang. Dengan tanpa menafikan kemampuan masing-masing personal, konsep yang lahir lewat komuni yang diinisasi oleh berbagai personal-personal yang intelektual tadi tentu akan lebih mempunyai daya stressing yang lebih tinggi dan mampu dikomparasikan dengan berbagai konsep pembangunan Aceh terkini.

Tawaran konkritnya adalah perlunya inisiasi untuk melahirkan sinergisitas gerakan mahasiswa Nanggroe Aceh Darussalam. Bukan mencoba untuk mengkotak-kotakkan. Tugas berat ini, adalah langkah awal untuk membumikan semangat menujun pembaharuan di Aceh. Mempersatukan berbagai keinginan dalam satu wadah yang saling mensupport adalah kontribusi riil yang kini bisa ditawarkan sebagai langkah untuk mensinergiskan pola gerak mahasiswa di Nanggroe Aceh Darussalam. Implementasi berbagai teori, diskusi berbagai ideology, bersama membedah kasus dan berbagai interaksi lainnya yang bisa dilakukan adalah berbagai contoh partisipasi yang bisa meningkakan kapasitas dari mahasiwa itu sendiri. Mencoba berkaca pada pola pergerakakan yang telah berhasil, kunci pertama kesuksesan sebuah gerakan adalah ketika para aktornya telah siap secara moril, materil dan kapasitasnya. Bukan tidak beralasan, karena memang dari kapasitas yang siap akan lahir berbagai ionvosi dalam menggerakkan perubahan, dengan kesiapan secara moril keberhasilan yang ingin dicapai tidak lagi mustahil.

Mengusung berbagai kepentingan rakyat tentu tidak mudah, dengan minimnya “kekuatan politik” yang kita miliki. Namun dengan semangat kebersamaan dan keyakinan bersama tentu hal itu tidak lagi menjadi sulit. Berjejaring adalah salah satu intrumen yang ada didalamnya, dengan berjejaring bisa dipastikan lahirnya common goals yang tentunya akan diperjuangkan bersama sama, common enemy yang akan dibasmi bersama-sama, dan common target yang akan menjadi asa ideal bersama. Proses berjejaring ini juga akan menghimpun begitu banyak energi-energi positif dalam satu wadah sehingga penyalurannya akan tepat guna dan tepat sasaran. Semoga ini menjadi alasan yang logis kemudian, untuk mendorong lahirnya sinergisitas bagi pergerakan mahasiswa di Nanggroe Aceh Darussalam.

Peran dan gerakan yang telah dilakukan oleh mahasiswa Aceh tidak dapat dipandang rendah, Perubahan-perubahan signifikan telah berulang kali lahir dengan inisiasi mahasiswa Aceh. Perubahan tersebut muncul lewat pergerakan-pergerakan yang simultan dan sinergis. Kesamaan visi dan sikap adalah modal utama yang mendorong berbagai aksi nyata tersebut, referendum tersebut lah sebagai event nyata bukti aktualisasi diri mahasiswa, dan itu akan terus dikenang sebagai pergerakan terbesar yang pernah ada sejagat nusantara. Masyarakat punya andil besar memang dalam pergerakan tersebut. Namun itu semua tidak akan pernah terjadi jika tanpa pernah diinisiasi oleh kaum muda Aceh, merekalah inisiator dan sucsessor bersatunya rakyat Aceh dan kebangkitan masyarakat sipil di nanggroe ini. Mengapa mahasiswa hari ini harus mampu untuk menginisiasi perubahan? Karena manusia yang gagal memainkan peran sebagai penggerak, hanya akan menjadi victims gilasan roda perubahan yang begitu cepat. Implikasinya kemudian adalah euforia yang muncul pasca perubahan hanya menggiring kepada konflik horisontal dan lemahnya struktur serta pranata sosial. Pada tingkat struktural, pergesekan elit terjadi dengan skala tinggi, yang secara simultan berdampak langsung pada perbenturan di tingkat massa bawah. Dengan kondisi tersebut, perubahan sosial dan kebudayaan yang diinginkan dengan komitmen reformasi menjadi semakin sulit menemukan kejelasan arah dan bentuknya.

Terlepas dari suksesnya gerakan masyarakat sipil aceh tersebut, kaum muda aceh hari ini memang terus bergerak, menciptakan sejarah dan terus berbicara akan nasib masyarakat aceh. Karenanya memang sudah menjadi tanggung jawab moril yang harus ditunaikan, karena memang kaum muda aceh tidak boleh berhenti untuk sekedar berbangga hati akan kegemilangan sejarah, sembari meratapi kegalauan yang pernah terhadir. Tapi memang sudah masanya untuk menganalisa anasir tersebut guna mengahdirkan tranformasi kesadaran kemudian. Sejarah itu memang harus terus dikenang untuk menjadi penyemangat dan referensi refleksi. Namun tentunyam mahasiswa hari ini juga harus mampu kembali menjawab tantangan yang hari ini juga tidak kalah penting. Pasca perdamaian, praxsis tidak ada gerakan mahasiswa yang mencoba memainkan peran nyata dalam lingkup tersebut. Hal ini yang harusnya mengawali kita untuk kembali memupuk semangat perjuangan untuk aceh dalam bingkai sinergisitas guna terus menggagas perubahan dan menyelamatkan perdamaian di Aceh. Sudah saatnya seluruh aktor pergerakan mahasiswa aceh kembali duduk bersama guna sharing ide-ide perubahan demi aceh yang lebih baik, Sinergisitas adalah satu langkah konkrit untuk kembali mereinkarnasi gerakan mahasiswa, terutama di nanggroe aceh Darussalam. Kesamaan sikap dan aksi tentu akan semakin memudahkan kerja-kerja yang ingin kita lakukan untuk mulai menggagas perubahan demi sebuah misi guna menyelematkan perdamaian dengan spectrum yang lebih luas.

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

IMAPA dan New Aceh Society

Slogan New Aceh Society kini begeming luar biasa di Aceh. Tak pelak hampir setiap LSM atau bahkan organisasi pemerintahan mengusung tema yang sama untuk konsep pembangunan Aceh kedepan. Ada yang hanya sekedar menjadikannya tema—karena marketable—ada pula yang menjadikannya nilai proyek besar. Bahkan di sebuah LSM ada yang dengan rapi menyusun konsep New Aceh Society dari fase ke fase pembangunan, sampai diterbitkannya sebuah buku.

Tapi mungkin tak banyak orang tahu, bahwa dari semenjak Musyawarah Besar IMAPA yang ke-XV pada tanggal 9 September 2000, IMAPA telah menuangkan ide tersebut melalui visinya; Terwujudnya kemajuan Aceh dalam tatanan Masyarakat Aceh Baru (New-Aceh Society). Tanpa bermaksud sombong atau takabur, kenyataannya di Aceh baru lahir konsep ini pada tahun 2006.

Hal yang jauh lebih penting untuk dicermati sebenarnya pada implementasi konsep itu sendiri. Konsep New Aceh Society yang tertoreh jelas dalam visi IMAPA bukanlah sekedar kebanggaan diri atau simbol belaka. New Aceh Society merupakan gambaran dasar betapa besarnya tanggungjawab setiap kader IMAPA, betapa jauhnya pandangan kedepan kader IMAPA, dan betapa matangnya harapan yang telah direncanakan. Sampai kini IMAPA masih konsisten dan terus menerus, sedikit demi sedikit mengimplementasikan konsep tersebut. Tak terasa memang, namun efeknya terus meningkat dalam grafik perkembangan organisasi.

Konsep New Aceh Siciety IMAPA meliputi berbagai bidang. Mulai dari Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, sosial masyarakat, agama atau syariat Islam, pendidikan, kebudayaan dan bahkan politik. Untuk alat pencapaiannya setidaknya dengan berbagai bidang kegiatan organisasi yang ada dalam tubuh IMAPA menandakan betapa keseriusan kader-kadernya dalam pencapaian tujuan bersama. Dalam struktur yang baru hasil MUBES XIX pada Maret 2008 lalu, ada lima bidang yang menjadi pos-pos setiap program, dari mulai Bidang Pengembangan Organisasi dan Jaringan (POJ), Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan (PPIP), HAM dan Advokasi (HAMA), Kaderisasi dan Pelatihan (KP) dan Seni dan Budaya (senibud).

Pembangunan yang lamban, kemampuan managerial dan wawasan pemerintahan yang kurang, banyaknya pengangguran yang timbul setelah ditinggal pergi NGO, dan latar belakang pendidikan yang rendah merupakan masalah yang sangat pokok. Semuanya itu kembali kepada ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kualitatif dan kompetitif. Melihat kondisi itulah akhirnya tak berlebihan jika pada MUBES XV juga IMAPA berubah menjadi organ kader sebagai bentuk sinergisitas dengan visi yang baru.

Tinggal pertanyaan yang menjadi tantangannya sekarang adalah akankah insan-insan muda Aceh yang telah digodok dalam simtem kaderisasi IMAPA ini siap terjun untuk menjadi agen-agen terwujudnya the Real New Aceh Society? Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing. Tapi sebagai gambaran saja bahwa alumni-alumni IMAPA yang telah terjun dalam “medan perjuangan” yang sesungguhnya di Aceh pelan-pelan telah membuktikannya. Semua ada prosesnya, semua ada masanya, dan semua ada IMAPA.

PENDAHULUAN

Globalisasi yang berawal dari konsep ekonomi kini berspektrum luas, termasuk budaya. Dalam konsep ekonomi globalisasi merupakan suatu keadaan dimana segala aspek perekonomian, mulai pasokan, informasi, dan transportasi tenaga kerja hingga distribusi dan pemasaran produk, menyatu dalam hubungan yang kait mengait dan saling ketergantungan dalam skala dunia. Seluruhnya hampir bersifat instant. Karenanya kekuatan global itu cenderung mengikis integritas dan otonomi perekonomian domestik atau nasional. Globalisasi dengan terbangunnya jaringan informasi dan komunikasi melalui telekomunikasi dan komputer mampu mengatasi hambatan ruang dan waktu tau yang telah memperpendek jarak ruang dan waktu. Proses penaklukan kekuatan ekonomi raksasa terhadap perusahaan-perusahaan di berbagai negeri berjalan dengan sistematis, cepat, dan mulus. Jalan raya informasi dan komunikasi ini ternyata dalam perkembangannya justru menjadi sarana bagi proses globalisasi budaya, sehingga memunculkan diskursus akan keberadaan satu budaya global.

Bersamaan dengan kecenderungan menuju satu budaya global di atas, dalam kenyataannya telah muncul pula pula fenomena paradoksal berupa penguatan penentangan dalam bentuk penebalan identitas budaya lokal atau nasional yang mencoba untuk meneguhkan asal usul etnis dan kebangsaan mereka dengan membangkitkan kembali tradisi dan landasan-landasan relijius. Dengan demikian sebenarnya globalisasi juga merupakan suatu proses yang kontradiktif dan tak seimbang yang dapat menimbulkan konflik nilai-nilai sosial dan budaya. Disinilah kekuatan-kekuatan budaya domestik menjadi relevan untuk diangkat bagi penguatan konstruktifnya. Masyarakat Aceh, khususnya generasi mudanya, juga menjadi entitas yang tak terkecuali.

TANTANGAN GLOBAL

Dalam perspektif budaya dan penguatan nilai konstruktif keacehan, segala masalah yang melekat dengan proses globalisasi sudah semestinya ditempatkan sebagai sesuatu yang “menantang” sehingga dengan demikian penyikapannya menjadi bersifat positif.

Masalah nilai atau sistem nilai menjadi masalah utama globalisasi dalam perspektif budaya. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana nilai-global mampu mengeliminasi nilai selainnya. Teori konflik peradaban, menjawab permasalahan nilai, yakni senantiasa ada dalam pertentangan. Akan tetapi dalam konteks budaya kita mengenal akulturasi yang artinya terbuka untuk kompromi. Ada dua hal penting yang mesti diperhatikan dalam hal ini, pertama kapan dan sejauh mana nilai-nilai itu berada dalam posisi bertabrakan dan kedua saat mana nilai-nilai itu patut untuk dikompromikan. Nilai keacehan memerlukan parameter yang jelas tentang hal tersebut. Dalam hal nilai keacehan yang telah terintegrasi dengan nilai keagamaan (Islam) maka penegasan parameternya menjadi lebih mudah. Dalam hal nilai yang lebih bertendensi pada nativisme tentu lebih sulit. Adat kebiasaan lebih mudah bergeser ketimbang nilai Agama. Nilai global yang kini menjadi tantangan itu sebenarnya adalah nilai “budaya pemenang”, yang tak lain adalah nilai-nilai modern atau lebih tepatnya western seperti nilai liberal sekuler, hedonis, atau kepentingan individual yang dominan. Apalagi Aceh pasca tsunami telah berhasil mendatangkan banyak bangsa asingyang secara tidak langsung mengkampanyekan budayanya. Di samping itu barat ada pula membawa nilai-nilai disiplin, kerja keras, egaliter, ataupun penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia yang perlu menjadi cerminan. Tentu saja dengan standardisasi penilaian berdasarkan parameter yang jelas.

Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tantangan global yang menarik karena iptek itu kini telah menjadi “senjata” budaya yang strategis. Sederhananya ialah menguasai iptek berarti menguasai peradaban. Memang matahari ilmu pengetahuan kini bersinar dari barat, disanalah peradaban maju berada. Elektronika, bio-teknologi, rekayasa material, dan antariksa merupakan pilihan penting. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu dari tiga ledakan besar abad ini di samping kependudukan (population) yang bercirikan dehumanization, changing etics, morals, norm and value system, canging perspective of (relationship) between man and man, man and nature. Kewajiban untuk mengejar keterlinggalan iptek dari dunia maju (barat) mesti dibarengi dengan kewaspadaan dan kearifan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan barat terhadap “nilai-nilai” iptek itu sendiri. Basis filosofinya materialistik, karenanya tak aneh jika demi materi mereka dapat menggunakan senjata itu untuk membunuh dan menghancurkan.

Aspek tantangan lain adalah gaya hidup global termasuk seni budaya yang jauh dari nilai-nilai moral. Pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, porno-grafi dan porno-aksi, desakralisasi lembaga perkawinan, ataupun model berpakaian yang semakin “primitif”. Lebih parahnya lagi, dengan perkembangan pembangunan yang begitu pesat (berkat campur tangan asing) malah membuat kebanyakan masyarakat Aceh yang shock culture. Peran media cetak maupun elektronik cukup signifikan menularkan budaya hedonis artis dan selebritis kepada masyarakat. Kepentingan kaum industrialis sangat kentara dalam pengembangan proyek globalisasi budaya eksploitasi seksual seperti ini dan ternyata generasi muda justru menjadi segmen pasar yang cukup menjanjikan. Aturan-aturan lokal di Aceh seperti Undang-undang Pemerintahan Aceh yang salah satu titik beratnya pada penerapan syariat Islam sampai saat ini belum memberikan tanda-tanda positif yang menyeluruh. Terkadang justru menjadi tantangan tertentu bagi sebagian kalangan.

SIKAP GENERASI MUDA ACEH

Generasi muda di samping menjadi sasaran globalisasi budaya, juga sebenarnya merupakan kekuatan untuk menangkal nilai negatif dari globalisasi budaya tersebut. Ini disebabkan karena sebagai segmen terbesar masyarakat memiliki karakter yang melekat dengan sifat kepemudaannya yaitu semangat (untuk melakukan) perubahan. Generasi muda Aceh dengan berbekal pada nilai kesejarahan leluhur, agama, serta motif untuk mempertahankan diri di area kompetisi etnik, dapat mengambil posisi penting dalam menghadapi tantangan global. Beberapa hal yang mesti mendapat perhatian adalah sebagai berikut:

Pertama, mempertinggi disiplin dan etos kerja. Hal ini berkaitan dengan kultur kerja di era global yang penuh dengan persaingan ketat, maka secara tak sadar sebenarnya berlaku hukum siapa cepat dia dapat. Kecepatan, keuletan dan kerja keras yang ditunjang dengan kedisiplinan yang tinggi merupakan satu kesatuan sikap yang mesti dimiliki generasi muda Aceh. “bek takot karena jioh, bek malah karena susah, bah pih jioh tetap tamita susah tetap tausaha”. Ditambah dengan ketekunan dan ketaatan ibadah maka semakin terbuka peluang mendapat kesuksesan dalam menghadapi berbagai tantangan kaem seumayang, rajin keuereuja”.

Kedua, rela berkorban menggapai kemuliaan. Terhadap hal ini kita tentu tak dapat melupakan peristiwa bersejarah indatu Aceh dalam pertarungan dengan bangsa penjajah dalam rangka mempertahankan harga diri dan kemuliaan warga Aceh di nusantara. Cut Nyak Dien beserta pasukannya yang tak rela menyerah dihina dan ditipu oleh Belanda atas penghianatan “ambisius” pengikutnya lebih memilih bertempur hingga ajal daripada mempersembahkan daerahnya sebagai kepada penjajah. Sikap militan seperti ini merupakan kekuatan pewangi generasi muda Aceh bagi peradaban yang cerah ke depan.

Ketiga, mantap melihat ke depan meski globalisasi membuat kita panik dan bingung. Tetap bersemangat dalam mencari siasat dan strategi-strategi baru guna mengatasi persoalan yang timbul. Kesulitan yang menimpa diri merupakan tempaan untuk memperkuat jiwa, mempertebal iman. Perlu tawakal kepada Allah.

Keempat, melangkahkan kaki sejauh mungkin, bergaul dengan dunia luas lalu kembali ke lingkugan sendiri untuk memperbaiki keadaan. Belajar dari generasi-generasi terdahulu yang sejak muda menjadi saudagar berlayar dengan kapalnya sendiri ke mancanegara ke Sumatera, Champa, China, India, Persia, hingga ke negeri Arab dan kembali sebagai Haji

Kelima, meski berinteraksi dengan dunia global, tetap berpegang pada identitas diri bagai ikan yang tak asin di laut sehingga semua yang diperoleh dari pergaulan global itu bermakna sebagai asesori kehidupan dan menambah pengalaman dengan jati diri yang tetap tegak dan kokoh berdiri di atas nilai budaya fundamental kehidupannya.

Keenam, siap melakukan “trial and eror” tidak takut terhadap risiko kegagalan dari keputusan yang diambilnya. Hukmnya adalah semakin tinggi keinginan untuk menggapai maka semakain tinggi pula resiko yang dihadapi. Keberanian ini muncul disebabkan bukan uang yang jadi kejaran, namun kematangan pengalaman yang lebih penting “peng jeut keuh habeh, pangalaman han mungken” bahkan pengalaman itu akan berguna untuk membuat pondasi bagi generasi berikut.

Ketujuh, matang dalam pertimbangan dengan memperhatikan berbagai aspek. Meskipun generasi muda biasa bersikap “melabrak” keadaan, bukan berarti hal itu tidak didasarkan atas pertimbangan yang masak karena pertimbangan sangat berguna. Bahkan jika risiko dari suatu perbuatan itu ternyata terjadi, maka hal itu pun tidak terlepas dari sesuatu yang sudah dapat diduga sebelumnya. .

Kedelapan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi karena iptek adalah kekuatan. Semangat untuk belajar mendalami ilmu apapun sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Penguasaan ilmu tiada lain untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat, untuk itu penguasaan iptek harus didasarkan pada sandaran keagamaan yang kokoh.

Kesembilan, tetap menghormati dan melangkah bersama dengan orang yang lebih tua sesuai dengan kapasitas dan peran yang dimilikinya masing-masing dan kalaupun ada kekurangan dan kelemahan pada “ureung tuha geutanyo” maka tak perlu buang enerji untuk menghardiknya “bek meuludah u wateuh seubab teutap keunong muka droe”.

Kesepuluh, melangkah dengan kejelasan tujuan agar tenang dan mantap menghadapi berbagai hal. Ketenangan hidup akan didapat jika yang dibangun tidak semata bersifat fisik tapi memperjuangkan kebenaran, karena kebenaran yang diperjuangkan maka tidaklah benar jika berprinsip menghalalkan segala cara yang justru akan mengganggu akan ketentraman hidup itu sendiri.

Masih banyak lagi yang bisa dijadikan pegangan bagi generasi muda Aceh dalam menghadapi tantangan global tersebut seperti membina keteladanan untuk generasi mendatang, kesederhanaan dalam kepemimpinan, serta senantiasa kompak dalam melawan kezaliman global.

PENUTUP

Generasi muda Aceh dengan bekal nilai-nilai budaya yang dimilikinya sudah sepantasnya untuk tampil ke depan menghadapi arus globalisasi yang deras dan keras. Tentunya hal ini perlu dibantu dengan keyakinan akan adanya kekuatan hakiki untuk memenangkan pertarungan budaya tersebut, kekuatan iman dan kebenaran Agama. Keislaman dan keacehan kini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, disinilah rahasia kekuatan generasi muda Aceh itu.

Cinta budaya bukan berarti kembali ke nativisme di bawah bayang-bayang masa keemasan kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, melainkan melanjutkan semangat “penaklukan” nya untuk memajukan citra masyarakat Aceh di kancah pergaulan global. Di sana sini perlu koreksi dan penyempurnaan. Sejarah terus bergulir, ada saat jatuh dan saat jaya. Kini saatnya untuk bangkit, bukan saja dengan kesibukan mencari jati diri, akan tetapi lebih pada berbuat nyata bagi kemashlahatan bangsa, negara, dan dunia global.

Followers