PENDAHULUAN
Globalisasi yang berawal dari konsep ekonomi kini berspektrum luas, termasuk budaya. Dalam konsep ekonomi globalisasi merupakan suatu keadaan dimana segala aspek perekonomian, mulai pasokan, informasi, dan transportasi tenaga kerja hingga distribusi dan pemasaran produk, menyatu dalam hubungan yang kait mengait dan saling ketergantungan dalam skala dunia. Seluruhnya hampir bersifat instant. Karenanya kekuatan global itu cenderung mengikis integritas dan otonomi perekonomian domestik atau nasional. Globalisasi dengan terbangunnya jaringan informasi dan komunikasi melalui telekomunikasi dan komputer mampu mengatasi hambatan ruang dan waktu tau yang telah memperpendek jarak ruang dan waktu. Proses penaklukan kekuatan ekonomi raksasa terhadap perusahaan-perusahaan di berbagai negeri berjalan dengan sistematis, cepat, dan mulus. Jalan raya informasi dan komunikasi ini ternyata dalam perkembangannya justru menjadi sarana bagi proses globalisasi budaya, sehingga memunculkan diskursus akan keberadaan satu budaya global.
Bersamaan dengan kecenderungan menuju satu budaya global di atas, dalam kenyataannya telah muncul pula pula fenomena paradoksal berupa penguatan penentangan dalam bentuk penebalan identitas budaya lokal atau nasional yang mencoba untuk meneguhkan asal usul etnis dan kebangsaan mereka dengan membangkitkan kembali tradisi dan landasan-landasan relijius. Dengan demikian sebenarnya globalisasi juga merupakan suatu proses yang kontradiktif dan tak seimbang yang dapat menimbulkan konflik nilai-nilai sosial dan budaya. Disinilah kekuatan-kekuatan budaya domestik menjadi relevan untuk diangkat bagi penguatan konstruktifnya. Masyarakat Aceh, khususnya generasi mudanya, juga menjadi entitas yang tak terkecuali.
TANTANGAN GLOBAL
Dalam perspektif budaya dan penguatan nilai konstruktif keacehan, segala masalah yang melekat dengan proses globalisasi sudah semestinya ditempatkan sebagai sesuatu yang “menantang” sehingga dengan demikian penyikapannya menjadi bersifat positif.
Masalah nilai atau sistem nilai menjadi masalah utama globalisasi dalam perspektif budaya. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana nilai-global mampu mengeliminasi nilai selainnya. Teori konflik peradaban, menjawab permasalahan nilai, yakni senantiasa ada dalam pertentangan. Akan tetapi dalam konteks budaya kita mengenal akulturasi yang artinya terbuka untuk kompromi. Ada dua hal penting yang mesti diperhatikan dalam hal ini, pertama kapan dan sejauh mana nilai-nilai itu berada dalam posisi bertabrakan dan kedua saat mana nilai-nilai itu patut untuk dikompromikan. Nilai keacehan memerlukan parameter yang jelas tentang hal tersebut. Dalam hal nilai keacehan yang telah terintegrasi dengan nilai keagamaan (Islam) maka penegasan parameternya menjadi lebih mudah. Dalam hal nilai yang lebih bertendensi pada nativisme tentu lebih sulit. Adat kebiasaan lebih mudah bergeser ketimbang nilai Agama. Nilai global yang kini menjadi tantangan itu sebenarnya adalah nilai “budaya pemenang”, yang tak lain adalah nilai-nilai modern atau lebih tepatnya western seperti nilai liberal sekuler, hedonis, atau kepentingan individual yang dominan. Apalagi Aceh pasca tsunami telah berhasil mendatangkan banyak bangsa asingyang secara tidak langsung mengkampanyekan budayanya. Di samping itu barat ada pula membawa nilai-nilai disiplin, kerja keras, egaliter, ataupun penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia yang perlu menjadi cerminan. Tentu saja dengan standardisasi penilaian berdasarkan parameter yang jelas.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tantangan global yang menarik karena iptek itu kini telah menjadi “senjata” budaya yang strategis. Sederhananya ialah menguasai iptek berarti menguasai peradaban. Memang matahari ilmu pengetahuan kini bersinar dari barat, disanalah peradaban maju berada. Elektronika, bio-teknologi, rekayasa material, dan antariksa merupakan pilihan penting. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu dari tiga ledakan besar abad ini di samping kependudukan (population) yang bercirikan dehumanization, changing etics, morals, norm and value system, canging perspective of (relationship) between man and man, man and nature. Kewajiban untuk mengejar keterlinggalan iptek dari dunia maju (barat) mesti dibarengi dengan kewaspadaan dan kearifan untuk mengambil pelajaran dari kegagalan barat terhadap “nilai-nilai” iptek itu sendiri. Basis filosofinya materialistik, karenanya tak aneh jika demi materi mereka dapat menggunakan senjata itu untuk membunuh dan menghancurkan.
Aspek tantangan lain adalah gaya hidup global termasuk seni budaya yang jauh dari nilai-nilai moral. Pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, porno-grafi dan porno-aksi, desakralisasi lembaga perkawinan, ataupun model berpakaian yang semakin “primitif”. Lebih parahnya lagi, dengan perkembangan pembangunan yang begitu pesat (berkat campur tangan asing) malah membuat kebanyakan masyarakat Aceh yang shock culture. Peran media cetak maupun elektronik cukup signifikan menularkan budaya hedonis artis dan selebritis kepada masyarakat. Kepentingan kaum industrialis sangat kentara dalam pengembangan proyek globalisasi budaya eksploitasi seksual seperti ini dan ternyata generasi muda justru menjadi segmen pasar yang cukup menjanjikan. Aturan-aturan lokal di Aceh seperti Undang-undang Pemerintahan Aceh yang salah satu titik beratnya pada penerapan syariat Islam sampai saat ini belum memberikan tanda-tanda positif yang menyeluruh. Terkadang justru menjadi tantangan tertentu bagi sebagian kalangan.
SIKAP GENERASI MUDA ACEH
Generasi muda di samping menjadi sasaran globalisasi budaya, juga sebenarnya merupakan kekuatan untuk menangkal nilai negatif dari globalisasi budaya tersebut. Ini disebabkan karena sebagai segmen terbesar masyarakat memiliki karakter yang melekat dengan sifat kepemudaannya yaitu semangat (untuk melakukan) perubahan. Generasi muda Aceh dengan berbekal pada nilai kesejarahan leluhur, agama, serta motif untuk mempertahankan diri di area kompetisi etnik, dapat mengambil posisi penting dalam menghadapi tantangan global. Beberapa hal yang mesti mendapat perhatian adalah sebagai berikut:
Pertama, mempertinggi disiplin dan etos kerja. Hal ini berkaitan dengan kultur kerja di era global yang penuh dengan persaingan ketat, maka secara tak sadar sebenarnya berlaku hukum siapa cepat dia dapat. Kecepatan, keuletan dan kerja keras yang ditunjang dengan kedisiplinan yang tinggi merupakan satu kesatuan sikap yang mesti dimiliki generasi muda Aceh. “bek takot karena jioh, bek malah karena susah, bah pih jioh tetap tamita susah tetap tausaha”. Ditambah dengan ketekunan dan ketaatan ibadah maka semakin terbuka peluang mendapat kesuksesan dalam menghadapi berbagai tantangan “kaem seumayang, rajin keuereuja”.
Kedua, rela berkorban menggapai kemuliaan. Terhadap hal ini kita tentu tak dapat melupakan peristiwa bersejarah indatu Aceh dalam pertarungan dengan bangsa penjajah dalam rangka mempertahankan harga diri dan kemuliaan warga Aceh di nusantara. Cut Nyak Dien beserta pasukannya yang tak rela menyerah dihina dan ditipu oleh Belanda atas penghianatan “ambisius” pengikutnya lebih memilih bertempur hingga ajal daripada mempersembahkan daerahnya sebagai kepada penjajah. Sikap militan seperti ini merupakan kekuatan pewangi generasi muda Aceh bagi peradaban yang cerah ke depan.
Ketiga, mantap melihat ke depan meski globalisasi membuat kita panik dan bingung. Tetap bersemangat dalam mencari siasat dan strategi-strategi baru guna mengatasi persoalan yang timbul. Kesulitan yang menimpa diri merupakan tempaan untuk memperkuat jiwa, mempertebal iman. Perlu tawakal kepada Allah.
Keempat, melangkahkan kaki sejauh mungkin, bergaul dengan dunia luas lalu kembali ke lingkugan sendiri untuk memperbaiki keadaan. Belajar dari generasi-generasi terdahulu yang sejak muda menjadi saudagar berlayar dengan kapalnya sendiri ke mancanegara ke Sumatera, Champa, China, India, Persia, hingga ke negeri Arab dan kembali sebagai Haji
Kelima, meski berinteraksi dengan dunia global, tetap berpegang pada identitas diri bagai ikan yang tak asin di laut sehingga semua yang diperoleh dari pergaulan global itu bermakna sebagai asesori kehidupan dan menambah pengalaman dengan jati diri yang tetap tegak dan kokoh berdiri di atas nilai budaya fundamental kehidupannya.
Keenam, siap melakukan “trial and eror” tidak takut terhadap risiko kegagalan dari keputusan yang diambilnya. Hukmnya adalah semakin tinggi keinginan untuk menggapai maka semakain tinggi pula resiko yang dihadapi. Keberanian ini muncul disebabkan bukan uang yang jadi kejaran, namun kematangan pengalaman yang lebih penting “peng jeut keuh habeh, pangalaman han mungken” bahkan pengalaman itu akan berguna untuk membuat pondasi bagi generasi berikut.
Ketujuh, matang dalam pertimbangan dengan memperhatikan berbagai aspek. Meskipun generasi muda biasa bersikap “melabrak” keadaan, bukan berarti hal itu tidak didasarkan atas pertimbangan yang masak karena pertimbangan sangat berguna. Bahkan jika risiko dari suatu perbuatan itu ternyata terjadi, maka hal itu pun tidak terlepas dari sesuatu yang sudah dapat diduga sebelumnya. .
Kedelapan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi karena iptek adalah kekuatan. Semangat untuk belajar mendalami ilmu apapun sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Penguasaan ilmu tiada lain untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat, untuk itu penguasaan iptek harus didasarkan pada sandaran keagamaan yang kokoh.
Kesembilan, tetap menghormati dan melangkah bersama dengan orang yang lebih tua sesuai dengan kapasitas dan peran yang dimilikinya masing-masing dan kalaupun ada kekurangan dan kelemahan pada “ureung tuha geutanyo” maka tak perlu buang enerji untuk menghardiknya “bek meuludah u wateuh seubab teutap keunong muka droe”.
Kesepuluh, melangkah dengan kejelasan tujuan agar tenang dan mantap menghadapi berbagai hal. Ketenangan hidup akan didapat jika yang dibangun tidak semata bersifat fisik tapi memperjuangkan kebenaran, karena kebenaran yang diperjuangkan maka tidaklah benar jika berprinsip menghalalkan segala cara yang justru akan mengganggu akan ketentraman hidup itu sendiri.
Masih banyak lagi yang bisa dijadikan pegangan bagi generasi muda Aceh dalam menghadapi tantangan global tersebut seperti membina keteladanan untuk generasi mendatang, kesederhanaan dalam kepemimpinan, serta senantiasa kompak dalam melawan kezaliman global.
PENUTUP
Generasi muda Aceh dengan bekal nilai-nilai budaya yang dimilikinya sudah sepantasnya untuk tampil ke depan menghadapi arus globalisasi yang deras dan keras. Tentunya hal ini perlu dibantu dengan keyakinan akan adanya kekuatan hakiki untuk memenangkan pertarungan budaya tersebut, kekuatan iman dan kebenaran Agama. Keislaman dan keacehan kini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, disinilah rahasia kekuatan generasi muda Aceh itu.
Cinta budaya bukan berarti kembali ke nativisme di bawah bayang-bayang masa keemasan kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, melainkan melanjutkan semangat “penaklukan” nya untuk memajukan citra masyarakat Aceh di kancah pergaulan global. Di sana sini perlu koreksi dan penyempurnaan. Sejarah terus bergulir, ada saat jatuh dan saat jaya. Kini saatnya untuk bangkit, bukan saja dengan kesibukan mencari jati diri, akan tetapi lebih pada berbuat nyata bagi kemashlahatan bangsa, negara, dan dunia global.